Posts Subscribe comment Comments

INILAH PENDAPAT IMAM SYAFI'I YG DITENTANG SEBAGIAN PENGIKUTNYA

Share

SEMOGA PENJELASAN DIBAWAH INI DAPAT JADI RENUNGAN KITA SEMUA YANG MENGAKU BERMADZHAB SYAFI'I.

APAKAH PANTAS ORANG YANG MENGAKU BERMADZHAB SYAFI'I, AKAN TETAPI AMALANNYA MENYELISIHINYA???

I. TAHLILAN (MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYIT)

Acara Tahlilan yaitu: acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, adalah merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat, atau dengan kata lain telah menjadi milik masyarakat Islam di tanah air kita.

Dalam acara tersebut, lazimnya dibacakan ayat‑ayat al‑Qur'an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dan lain-lain, dengan niat pahala bacaan‑bacaan tersebut dihadiahkan kepada mayit tertentu atau arwah kaum muslimin pada umumnya.

Satu hal yang belum banyak diketahui kaum Muslimin itu sendiri ialah; bahwa pada umumnya mereka -baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut‑ikutan- mengaku bermazhab Syafi'i. Namun ironisnya, -setelah merujuk kepada kitab-kitab madzhab Syafi'i- ternyata keyakinan mereka ini justru tidak sesuai dengan pendapat para ulama dari kalangan madzhab Syafi'i, termasuk Imam asy-Syafi'i sendiri. Kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut, maka jumlahnya sangat sedikit dan tentu saja pendapat tersebut dipandang lemah, sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur'an dan Sunah Nabi SAW, serta petunjuk shahabat‑shahabatnya.

Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat ulama-ulama Syafi'iyah tentang masalah dimaksud, yang penulis kutip dari kitab-kitab tafsir, fiqih dan syarah hadits, yang penulis pandang mu'tabar (dijadikan pegangan) di kalangan para pengikut madzhab Syafi'i.

1. Pendapat Imam asy-Syafi'i rahimahullah:

Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim :

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أنَّهُ لاَ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيَّتِ ... وَدَلِيْلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيْهِ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى(. وَقَوْلُ النَّبِيِّ: SAW "إِذِا مَاتَ ابْنَ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ")).

"Adapun bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi'i, pahalanya tidak sampai kepada mayit yang dikirimi… adapun dalil Imam asy-Syafi'i dan yang sependapat dengannya, adalah firman Allah SWT (yang artinya): "Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri", juga sabda Nabi SAW: "Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdoa untuknya" [1].



2. Juga as-Subki di dalam kitab Takmilah al-Majmu' Syarah al-Muhadzab mengatakan:

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَجَعْلُ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ وَالصَّلاَةُ عَنْهُ وَنَحْوُهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُوْرُ أنَّهَا لاَ تَلْحَقُ الْمَيِّتَ وَكَرَّرَ ذَلِكَ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ فِيْ شَرْحِ مُسْلِمٍ)).

"Adapun bacaan al-Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit, mengganti shalatnya mayit[2] dan sebagainya, Imam asy-Syafi'i dan jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah berulangkali disebutkan (oleh Imam an-Nawawi) di dalam kitab Syarah Muslim" [3].



3. Al-Haitsami, di dalam kitabnya: Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, menjelaskan:

((الْمَيِّتُ لاَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ, مَبْنِيٌّ عَلَىمَا أطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ تَصِلُهُ -أَيْ الْمَيِّتَ- ِلأنَّ ثَوَابَهَا لِلْقَارِئِ، وَالثَّوَابُ المُرَتَّبُ عَلَى عَمَلٍ لاَ يُنْقَلُ عَنْ عَامِلِ ذَلِكَ الْعَمَلِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39)).

"Mayit tidak boleh dibacakan atasnya, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak akan sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Adapun pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari 'amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, adalah berdasarkan firman Allah SWT (yang artinya): "Dan manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri" An-Najm: 39"[4].

4. Imam al-Muzani, di dalam Hamisy Al-Umm, mengatakan demikian:

((فَأَعْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ SAW كَمَا أعْلَمَ اللهُ مِنْ أَنَّ جِنَايَةَ كُلِّ امْرِئٍ عَلَيْهِ كَمَا أَنَّ عَمَلَهُ لَهُ لاَ لِغَيْرِهِ وَلاَ عَلَيْهِ)).

"Rasulullah SAW telah memberitahukan sebagaimana yang diberitahukan Allah SWT; bahwa (ganjaran atas) dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, sebagaimana pahala amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain" [5].

5. Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut:

((وَالمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لاَ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُهَا)).

"Dan yang masyhur dalam madzab Syafi'i, bahwa bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak sampai kepada mayit yang dikirimi " [6].

6. Di dalam Tafsir al-Jalalain disebutkan demikian:
((فَلَيْسَ لَهُ مِنْ سَعِيِ غَيْرِهِ الْخَيْرِ شَيْء ٌ)).

"Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikit pun dari amal kebaikan orang lain " [7].

6. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-'Adzim menjelaskan (ketika menafsirkan ayat 39 dari surat an-Najm):
((أيْ كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ؛ كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأجْرِ إِلاَّ مَا كَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الْكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ (رَحِمَهُ اللهُ) وَمَنِ اتَّبَعَهُ, أنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى لأَِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلاَ كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ SAW أُمَّتَهُ وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أرْشَدَهُمْ إلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إيْمَاءٍ, وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ y, وَلَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبُقُوْنَا إلَيْهِ. وَبَابُ الْقُرُبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بأَنْوَاعِ اْلأقْيِسَةِ وَاْلآرَاءِ)).

"Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak akan menimpa orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi'i rahimahullah dan ulama-ulama yang mengikutinya, mengambil kesimpulan bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak akan sampai , karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau amalan semacam itu memang baik, tentu mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya. Dan amalan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) hanya terbatas dengan yang ada nash-nashnya (dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah) saja, serta tidak boleh di'otak-atik' dengan berbagai macam qiyas (analogi) dan ra'yu (rasio)" [8].

Demikian beberapa nukilan pendapat ulama Syafi'iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala qira'ahkepada mayit. Yang ternyata menunjukkan bahwa mereka mempunyai satu pandangan, yaitu: bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an kepada mayit itu tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Lebih-lebih lagi kalau yang dibaca selain Al Qur'an, tentu saja lebih tidak akan sampai.


Kalau sudah jelas, bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka atau dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir.

Kemudian mungkin akan timbul pertanyaan; bagaimana jika setiap usai tahlilan kita berdo'a: Allahumma aushil tsawaaba maa qara'naahu ilaa ruuhi fulan (Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh Fulan)?

Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas sebagai berikut: Di depan telah dijelaskan bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat sampai kepada roh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah SWT dalam ayat 39 dari surat an-Najm. Adalah sangat janggal, kalau kita mengirimkan pahala bacaan kepada mayit -yang berarti kita telah melanggar syari’at-Nya- lantas kemudian kita mohon agar perbuatan yang melanggar syari'at itu diberi pahala, dan lebih dari itu mohon agar pahalanya disampaikan kepada roh orang lain!

Jadi, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan, karena akan terjadi hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu sisi do'a adalah ibadah, dan di sisi lain amalan mengirim pahala bacaan adalah amalan sia-sia yang berarti melanggar syari'at. Apalagi jika amalan semacam itu kita mohonkan agar diberi pahala, lantas pahalanya disampaikan kepada roh orang lain.Wallahu a'lam.

II. SELAMATAN KEMATIAN

Selamatan adalah: berkumpul dan menikmati hidangan makanan di rumah keluarga mayit -baik pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dan seterusnya-, maupun dalam upacara yang sifatnya masal, yang lazimnya dilakukan di pekuburan yang biasa disebut haul, yang di situ juga diadakan acara makan-makan.

Tidak jauh berbeda dengan tahlilan, sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi'iyah -baik kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits- maka akan kita dapatkan bahwa amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan "terlarang" atau dengan kata lain "haram".

Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi'i sendiri, atau kalaupun ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak. Maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan para ulama Syafi'iyah tentang masalah ini.



1. Imam asy-Syafi'i tidak menyukai adanya kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab al-Umm:
((وَأَكْرَهُ الْمَأْثَمَ؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ, وَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ, فَإنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ)).

"Aku tidak menyukai ma'tsam; yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga si mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru" [9].

2. Di dalam kitab fiqih I'anah ath-Thalibin dinyatakan demikian:

((نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا)).

"Ya, apa yang dikerjakan kebanyakan orang, yaitu berkumpul di (rumah) keluarga si mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid'ah munkarah (bid'ah yang diingkari agama) dimana orang yang memberantasnya akan mendapatkan pahala" [10].

Pengarang juga menjelaskan:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرٍ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاجْتِمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

"Dan apa yang menjadi kebiasaan sebagian orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah bid'ah makruhah (yang tidak disukai dalam agama), sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena telah shahih perkataan Jarir t: "Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) (yakni haram -pen)" [11].

3. Dalam kitab Barzanjiyah:

((وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إلَى الْقُبُوْرِ)).

"Dan makruh menghidangkan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan (seperti dalam peringatan haul -pen)" [12].

4. Di dalam kitab fiqih Mughni al-Muhtaj disebutkan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ, وَرَوَى أحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه بِإسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدُ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتَمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ)).

"Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalahbid'ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan, dan dalam hal ini Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdillah, ia berkata: "Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga si mayit untuk acara itu, adalah termasuk niyahah(meratapi mayit), (yakni haram -pen)" [13].

5. Di dalam kitab fiqih Hasyiyah al-Qalyubi, dinyatakan demikian:
((قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِي الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى "الْكِفَارَةَ" وَمَنْ صَنَعَ طَعَامًا لِلاِجْتِمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ أوْ بَعْدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ)).

"Syeikh kami Ar-Ramli berkata: "Diantara bid'ah munkarah (yang tidak dibenarkan agama), yang dibenci untuk dikerjakan -sebagaimana diterangkan di dalam kitab ar-Raudlah- adalah apa yang dikerjakan banyak orang dan disebut: "kifarah", penghidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit sebelum maupun sesudah kematian, juga penyembelihan (hewan) di kuburan" [14].

6. Di dalam kitab fiqih karangan Imam Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzab, antara lain dikatakan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهُ شَيْءٌ, وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرِ مُسْتَحَبَّةٍ)).

“Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah tidak ada dalilnya sama sekali, dan itu adalah bid'ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan)" [15].

7. Dalam kitab al-Jamal Syarah al-Minhaj:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاس مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلأرْبَعِيْنَ, بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ)).

"Dan diantara bid'ah munkarah yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang seperti wahsyah (kesedihan yang berlebih-lebihan), berkumpul (di rumah keluarga mayit saat kematian) dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram " [16].

8. Dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَنْكَرَةٌ مَكْرُوْهَةٌ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعِ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

"Apa yang menjadi kebiasaan banyak orang, berupa menghidangkan makanan untuk mengundang orang banyak ke rumah keluarga si mayit, adalah bid'ah munkarah makruhah (yang tidak dibenarkan agama dan tidak disukai), sebab karena telah shahih perkataan Jarir bin Abdillah: "Kami (para sahabat Nabi SAW) menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah, (yakni haram -pen)" [17].

9. Fatwa Ahmad Zaini bin Dahlan sebagai berikut:

((وَلاَ شَكَّ أنَّ مَنْعَ النَّاسَ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإمَاتةٌ ِللْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرِ مِنْ أبْوَابِ الْخِيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِ. فَإنَّ النَّاسَ َيتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إلَى أنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا)).

"Dan tidak ada keraguan sedikit pun, bahwa mencegah umat dari bid'ah munkarah ini adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi SAW, memberantas bid'ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan. Sesungguhnya orang-orang telah terlalu memaksakan diri mereka, sehingga membuat hal itu diharamkan" [18].

10. Dan di dalam kitab al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah, dinyatakan demikian:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يُفْعَلُ اْلآنَ مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحِ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ أوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَإِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ)).

"Dan di antara bid'ah makruhah (yang dibenci) ialah: apa yang dikerjakan sebagian orang dengan memotong binatang-binatang ketika mayit dikeluarkan dari tempat persemayaman, atau di kuburan, dan juga menyediakan hidangan makanan untuk orang-orang yang ta'ziyah (melayat)" [19].

Demikian pendapat para ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian, yang menunjukkan kesepakatan mereka bahwa amalan tersebut adalah bid'ah yang munkar. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma') para sahabat Nabi SAW, yang menganggap haram amalan tersebut.

Lagipula sedekah itu akan lebih tepat mengenai sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, jika tidak diwujudkan dalam bentuk selamatan, tapi langsung diberikan kepada kaum fakir miskin. Sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir atau yang diundang adalah orang-orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka. Ini kalau dipandang dari segi kepentingan materiil para fakir miskin.

Ditambah lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbis al-haq bi al-bathil(mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil); sebab di satu pihak, sedekah adalah diperintahkan agama, sedang di pihak lain, yakni berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga si mayit adalah haram, juga mengirim pahala bacaan itu sendiri perbuatan sia-sia (tabdzir). Wallahu a'lam.

III. SANTUNAN UNTUK KELUARGA SI MAYIT

Menurut sunnah Nabi SAW, tetanggga keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang keluarganya, dianjurkan agar membantu meringankan beban penderitaan lahir maupun batin; dengan memberikan santunan berupa bahan makanan, lebih-lebih jika keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin.

Imam Asy-Syafi'i, di dalam kitabnya Al-Umm, antara lain mengatakan demikian ;

((وَأُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ أوْ ذِيْ قَرَابَتِهِ أنْ يَعْمَلُوا ِلأهْلِ الْمَيِّتِ فِيْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَايُشْبِعُهُمْ وَإنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ)).

"Dan aku menyukai bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, agar membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka. Dan amalan yang demikian itu adalah sunnah" [20].

Selanjutnya Imam Syafi'i mengatakan bahwa hal itu berdasarkan adanya riwayat dari Abdullah bin Ja'far:

((قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرِ (رضي الله عنه): لَمَا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ SAW: "اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ آتَاهُمْ مَا يَشْغُلُهُمْ)).

"Abdullah bin Ja'far t berkata: Tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja'far, Nabi SAW bersabda: "Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja'far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyibukkan mereka" [21].

Hadis ini menunjukkan, bahwa menurut sunnah Nabi SAW, kaum muslimin, baik tetangga mayit atau sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang sedang ditimpa kesusahan itu, dengan cara memberikan bantuan berupa bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu atau miskin. Oleh karena itu Imam asy-Syafi'i menganjurkan juga kepada kaum muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini karena hal itu sesuai dengan sunnah Nabi SAW

Sementara menurut tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini, masih berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran Imam Asy-Syafi'i tersebut; yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu, dsb dengan menyediakan hidangan makanan disertai acara tahlilan, yang justru selain keduanya merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh ulama-ulama Syafi'iyah yang berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW, juga memberatkan keluarga si mayit dan mem'perbaharui' kesedihan mereka.

KESIMPULAN

1. Bahwa menurut pendapat ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi'i, tahlilan atau acara mengirim pahala bacaan kepada mayit/roh tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.
2. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur'anul al-Karim, ayat 39 dari surat an-Najm, yang artinya: "Bahwa manusia tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil amal usahanya sendiri". Sunnah Nabi SAW juga menegaskan hal ini.
3. Bahwa kalau tahlilan tersebut tidak dapat sampai, maka amalan-amalan tersebut -apabila tetap dikerjakan- berarti sia-sia, sedang Islam melarang umatnya berbuat sesuatu yang sia-sia (maa laa ya'ni= sesuatu yang tidak ada gunanya), atau juga dapat diartikan sebagai tabdzir.
4. Bahwa acara selamatan atau berkumpul dan menikmati hidangan di rumah keluarga mayit, menurut ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi'i adalah "terlarang". Di antara mereka ada yang mengatakan sebagai bid'ah munkarah, yakni bid'ah yang tidak diakui dalam Islam. Ada yang mengatakan bid'ah ghairu mustahabbah, yakni bid'ah yang tidak pernah disunatkan, dan ada yang mengatakan bid'ah makruhah, yakni bid'ah yang tidak disukai.
5. Bahwa pernyataan bid'ah munkarah artinya adalah bahwa perbuatan itu haram hukumnya.
6. Bahwa haramnya selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah berdasarkan atsar shahih dari seorang Sahabat Nabi SAW; Jarir bin Abdillah, yang mengatakan, "Kami (para shahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk acara itu oleh keluarga mayit, adalah termasuk niyahah, (yakni haram)."
7. Bahwa hukum haramnya berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah disepakati (telah menjadi ijma') para pahabat Nabi SAW, sebab Jarir mengatakan: " menganggap…". Dan tidak ada seorang sahabat pun yang membantahnya.
8. Bahwa menurut sunnah Nabi SAW, jika ada keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang anggotanya, maka kepada kaum muslimin, baik sebagai sanak kerabat atau sebagai tetangga, hendaknya memberikan santunan dengan memberikan bahan makanan semampunya, terutama terhadap keluarga yang tidak mampu atau miskin.
9. Akhirnya dapatlah dikatakan, bahwa tradisi yang berjalan di masyarakat Islam tanah air kita, yang berupa tahlilan dan selamatan kematian pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dst adalah bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yakni Qur'an dan sunnah Nabi SAW.

والله أعلم بالصواب ، وبالله التوفيق والهداية، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم



Fote Note:

[1] An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal 90.

[2] Menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya -pen.

[3] As Subki, Takmilah al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 10, hal 426.

[4] Al-Haitsami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz 2, hal 9.

[5] Asy- Syafi'i, Hamisy al-Umm, juz 7, hal 269.

[6] AI Khazin, al-Jumal, juz 4, hal 236.

[7] Tafsir al-Jalalain, jilid 2, hal 197.

[8] Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, surat an-Najm, ayat 39.

[9] Asy-Syafi'i, al-Umm, juz 1, hal 348.

[10] I'anah ath-Thalibin Syarah Fath al-Mu 'in, juz 2, hal 145.

[11] Op. Cit, juz 2, hal 146.

[12] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 146.

[13] Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal 268.

[14] Hasyiyah al-Qalyubi, juz 1, hal 353.

[15] Imam an-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzab, juz 5, hal 286.

[16] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[17] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[18] Dinukil oleh pengarang I'anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146

[19] Abdurrahman al-Jaza'iri, al-Fiqhu 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, juz 1, hal 539.

[20] As Syafi'i, Al-Umm, juz 1, hal. 247.

[21] Op. Cit.

12

Anonim nyarios ... :

Ayat 39 dari surat an-Najm, yang artinya: "Bahwa manusia tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil amal usahanya sendiri". Mendoakan mayit tdk akan sampai kpd mayit. Kalau mendoakan oranglain yg masih hidup apakah juga tdk sampai? Bagaimana juga dg setiap hari kita mendoakan Rasullullah SAW & nabi2 serta guru2/wali Allah yg mengajarkan budipekerti ilmu pengetahuan sehingga kita melek iman, yg juga sdh meninggal apakah juga tidak sampai? Semoga Allah mengampuni dosa hambanya.

Anonim nyarios ... :

mendoakan kepada orang yang masih hidup adalah mendoakan dan mengharapkan saudara kita mendapat kebaikan.
contohnya seperti ini
Asslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
yang artinya
Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu diiringi dengan rahmat dari Allah dan juga barakah dari Allah untukmu



sementara untuk nabi
kita dianjurkan untuk bersholawat

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]

jadi kita bersholawat kepa nabi..

wallahu alam bi shoab

Anonim nyarios ... :

Kalau begitu berarti kita boleh mendoakan orang yang sudah mati biar masuk Neraka, toh doanya tidak akan sampai ex: "Ya Allah...mudah-mudahan si fulan masuk Neraka"
Saya berharap kita janganlah syaf'i oriented, sehingga harus juga di baca pendapat hanafiyah serta ijtihad-ijtihad ulama lainnya. al Ijtihad la yunqodu bil ijtihad. Kita harus menghormati ijtihad ulama lain...Mengikuti yang mana saja silahkan asalkan memiliki argumentasi naqli dan aqli

Anonim nyarios ... :

saya mendoakan yang nulis masuk neraka jahannam la'natullah alaiik...

Anonim nyarios ... :

Saudaraku, seiman, janganlah saling menghina, saudara kita hanya mnyampaikan...
Janganlah mndoakan keburukan kpd saudara kita... jika merasa bnar, silakan lakukan yg mnrt kalian bnar, yg saudara kita smpaikan hanya sesuai hadits Rosul.. kalo ga stuju ya udah ga usah di ikutin, tp kalau saya slama itu dr hadits nabi, saya akan brusaha ngikutin...

Unknown nyarios ... :

Gini gan sebenarnya, doa orang soleh itu juga merupakan amalan kita sendiri yaitu kita jadi orang muslim. Kalau bukan orang muslim ya gak bakal didoain. Jadi sebenarnya doa orang soleh kepada mayit itu merupakan amalan si mayit sendiri yang telah masuk islam.

Anonim nyarios ... :

MOHON MAAF PAK SAYA INTA DALIL YANG MENGHARUSKAN BERMADHAB KEPADA SATU IMAM....DAN APA HUKUMNYA BILA KITA BERMADHAP KEPADA 4 IMAM...

Unknown nyarios ... :

kalau do,a jangan kepada orang mati, yang masih hidup ala masih banyak yang tuli wk wk wk

Unknown nyarios ... :

Ini yg suka memecah umat ya ini ni...

Unknown nyarios ... :

Penulis gak paham sejarah. Penulis tidak menyertakan tafsir ayat Al-Quran yg rinci. Penulis tidak melengkapi pendapat ulama secara detil. Penulis ini berkata sepihak sesuai dgn yg ia yakini saja. Jadi, tulisan ini tidak objektif. Semoga kaum muslimin yg membaca tidak terpengaruh pada pendapat yg seperti ini. Lautan ilmu sangatlah luas. Cari kebenarannya, tanyakan pada ulama. Jangan nanya ama mbah google. "Maka bertanyalah pada Ahladzikri ( ulama ) jika kamu tidak tahu"

Bara nyarios ... :

Assalamu'alaikum,semoga Allah SWT Meridhai Perbedaan paham di antara Kalian, "Subahanallah..sungguhnya perkara ini sudah dibahas oleh ulama-ulama mujtahid dahulu, MASALAH PAHALA DIKIRIM KEPADA SIMAIT ADALAH SAMPAI, DALILNYA SEPERTI HADITS YANG ANDA TULIS DI ATAS YAITU PADA KALIMAT "أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ" (PADA KALIMAT WALADA / ANAK YANG SHALEH), ANTUM MUNGKIN BELUM TAHU TENTANG ILMU NAHWU ATAU MUNGKIN ANTUM SUDAH LUPA TENTANG ILMU NAHWU TENTANG BAB ISIM NAKIRAH DAN ISIM MAKRIFAH, JIKA ANTUM TIDAK TAHU NANTI SAYA PAPARKAN, DAN KLO ANTUM LUPA MAKA SEGERA ISTIGFAR KEPADA ALLAH DAN MEMINTA PETUNJUKNYA...
.
1. BANTAHAN ATAS PENDAPAT ANDA TENTANG DALIL ALQURAN (AN-NAJM ; 39)
DALIL ALQURAN YANG ANDA SEBUTKAN DI ATAS ADALAH AYAT YANG SUDAH DI MANSUKHKAN, ATAU SUDAH DI GANTI DALAM SYARIAT RASULALLAH SAW, (MAKSUTNYA AYAT ALQURAN ITU BUKAN UNTUK NABI MUHAMMAT MELAINKAN UNTUK NABI IBRAHIM DAN NABI MUSA. (BISA DI LIHAT DI Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236)
.
2. BANTAHAN PADA HADITS YANG ANDA SEBUTKAN DI ATAS (HADITS TENATANG MAYIT DI TINGGAL 3 PERKARA YANG SAMPAI PADANYA)
-> YAITU SALAH SATUNYA ADALAH "waladun shalih" ( ANAK YANG SHALEH )
------> A. ITU ADALAH ISIM NAKIRAH (KALIMAT YANG DI UCAPKAN NABI ADALAH KALIMAT ISIM NAKIRAH DAN BUKAN MAKRIFAH)
NB: ISIM NAKIRAH ADALAH ISIM YANG MENUNJUKKAN UMUM (YG TIDAK KITA KETAHUI), SEDANGKAN ISIM MAKRIFAH ADALAH ISIM YANG KHUSUS (ATAU ISIM YANG SUDAH KITA KETAHUI). CONTOH ISIM MAKRIFAH : "AL-waladun shalih" (anak yang shaleh dari anak si mayit) NB: KALIMAT "AL" DI SANA ADALAH PERTANDA ISIM MAKRIFAH, DALAM ARTI YAITU KALIMAT "AL-waladun shalih" ADALAH BETUL ANAK DARI SIMAYIT. SEDANGKAN HADITS YANG DI UCAPKAN NABI ADALAH "WALADUN SHALIH" (TANPA KALIMAT "AL") YANG BERARTI (ANAK-ANAK YANG SHALEH) YAITU ANAK YANG SHALEH SIAPA SAJA, DALAM ARTI ORANG YANG MENDOAHKANNYA WALAUPUN BUKAN ANAKNYA SENDIRI.) LEBIH LANJUT PELAJARI ILMU NAHWU BAHAGIAN ISIM NAKIRAH DAN MAKRIFAH
.
DAN MASIH BANYAK LAGI BANTAHAN TENTANG ARTIKEL ANDA INI, JADI SEBAGAI PENULIS HARUSLAH MENELITI ARTIKEL TERLEBIH DAHULU BARU DI POSTING, BIAR TIDAK MENIMBULKAN KEBENCIAL DI ANTARA UMMAT.
.
SEMOGA ALLAH MENGAMPUNI KITA SEMUA DAN MENUNJUKKAN JALAN YANG BENAR. AAMIIN.

Unknown nyarios ... :

Penulis kurang objektif mencomot fatwa madzhab Syafi'i yang cocok sesuai nafsu nya.... Ingat firman Allah kalian jangan menyembunyikan kebenaran sedang kalian mengetahuinya

Silahkan Tulis Komentar Anda ...

I know there is something in your head
Any type of comment will be accepted and published. Except spam!
thanx's very much

Design by Azis Lamayuda | Do The Best To Get The Best